This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Saturday, 26 December 2015

Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah Ploso Jombang

Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah
Thoriqoh Shiddiqiyyah saat ini dipimpin oleh seorang Mursyid yaitu Almukarom Syekh Kyai Muchammad Muchtar putra dari pasangan Hajj Abdul Mu'thi dan Nyai Nashihah.
Dilahirkan di desa Losari, Ploso Jombang Jawa Timur, tanggal 14 Oktober 1928.
Pendidikan yang pernah ditempuh adalah: Madrasah Islamiyah Rejoagung, Ploso, Jombang, Pesantren Rejoso, Peterongan, Jombang, kemudian dilanjutkan di Pesantren Tambakberas, Jombang.

Setelah menempuh pendidikan pesantren beliau menjadi guru Madrasah di Lamongan dan pada saat itulah bertemu dengan Syekh Ahmad Syuaib Jamali Al Banteni yang pada akhirnya melimpahkan Ilmu Thoriqoh pada Muchammad Muchtar. Beliau mendapat pendidikan dan pengajaran Thoriqoh dari Syekh Syuaib dalam crass program, atau program intensif lima tahun.

Mulai tahun 1959 Kyai Muchtar mengajarkan Thoriqoh Shiddiqiyyah di desa Losari Ploso Jombang sampai sekarang.
Pada perkembangan terakhir ini, Thoriqoh Shiddiqiyyah sudah tersebar ke berbagai pelosok tanah air Indonesia bahkan ke negera tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam.
Murid-murid thoriqoh Shiddiyyah terus bertambah setiap hari dan diperkirakan sekarang ini lebih dari lima juta orang.
Mereka terdiri dari segala umur, berbagai tingkat sosial ekonomi dan berbagai profesi dan keahlian.

Karena pesatnya perkembangan kaum muslimin muslimat yang memerlukan bimbingan pelajaran thoriqoh Shiddiqiyyah, beliau Mursyid, mengangkat wakil-wakil yang disebut Kholifah yang bertugas mewakili Mursyid memberikan bimbingan pada murid-murid Shiddiyyah di seluruh penjuru nusantara.
Kholifah yang pertama diangkat adalah Slamet Makmun, sebagai murid pertama, kemudian dikuti Duchan Iskandar, Sunyoto Hasan Achmad, Ahmad Safi'in, Saifu Umar Acmadi, Muhammad Munif dan lain-lain hingga lebih dari 40 orang kholifah.



Pimpinan / Mursyid Thoriqoh Shiddiqiyyah :

Kyai Muchammad Muchtar bin Hajji Abdul Mu'thi
Lahir : Losari, Ploso Jombang, 14 Oktober 1928
Alamat : Desa Losari Kec.Ploso Kab.Jombang Jawa Timur
Pendidikan :
- Madrasah Islamiyah Rejoagung Ploso Jombang
- Pesantren Rejoso Peterongan Jombang
- Pesantren Tambakberas, Jombang



Sumber : (Bahan Sosialisasi ORSHID dan Laporan YPS Pusat ke Kejaksaan Negeri Jombang 1989)


Ponpes Mambaul Ma’arif Denanyar Jombang

Ponpes Mambaul Ma’arif Denanyar Jombang
Ponpes Mambaul Maarif Denanyar berada di pintu barat kota Jombang. Berlokasi di tepi jalan raya Jombang – Megaluh, sekitar 3 km arah barat kota. Sebagai pintu masuk dari wilayah pesisir barat sungai Brantas (Megaluh, Perak, Bandarkedungmulyo, Kertosono, Nganjuk), ponpes Denanyar juga terkenal karena didirikan oleh KH Bisri Syansuri (Mbah Bisri), salah satu dari tiga tokoh pendiri NU. Disini juga tempat lahirnya Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) tokoh besar NU yang merupakan cucu dari Mbah Bisri. Dibanding tiga ponpes besar lainnya, ponpes Denanyar memang bisa dikatakan yang paling muda.

Ponpes Denanyar dirintis oleh KH Bisri Syansuri (Mbah Bisri) sekitar tahun 1917. Beliau adalah ulama kelahiran Jawa Tengah. Seusai menimba ilmu agama, beliau mendirikan ponpes di desa Denanyar. Pada awalnya ponpes hanya dikhususkan bagi santri putra. Karena pada saat itu, tidak lazim, ada santri putri mondok di ponpes. Namun, Mbah Bisri akhirnya dengan seizin gurunya mulai membuka ponpes untuk santri putri pada tahun 1921. Selanjutnya, dua tahun kemudian, yaitu mulai tahun 1923, Mbah Bisri membuka sistem pendidikan Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) Mambaul Huda. Yang selanjutnya berganti nama menjadi Mambaul Maarif. Mulai saat itu, ponpes Denanyar juga dikenal dengan nama ponpes Mamba’ul Ma’arif.

Sebagai kelanjutan dari sistem pendidikan dasar, maka harus ada pendidikan lanjutan. Maka pada tahun 1925, dibukalah Madrasah Tsanawiyah Putra. Disusul dengan Madrasah Tsanawiyah Putri pada tahun 1958. Kemudian, pada tahun 1962 dibuka Madrasah Aliyah Putra Putri. Akhirnya berdasarkan SK Menteri Agama RI No. 24 tahun1969, lembaga Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah yang sebelumnya masih berstatus swasta menjadi negeri, yaitu MTsN dan MAN.

Tetapi sebagai upaya untuk terus meningkatkan pengembangan institusi pendidikan masa kini dan masa depan, maka didirikanlah Madrasah Tsanawiyah Mambaul Ma’arif (status swasta) tahun 1993. Kemudian Madrasah Aliyah Mambaul Ma’arif (status swasta) pada tahun 2000. Dengan menggunakan sistem kurikulum terpadu yang mengacu pada kurikulum tetap dan kurikulum pesantren dengan spesifikasi ilmu-ilmu agama, bahasa Arab, bahasa Inggris. Ada juga sekolah kejuruan dengan nama SMK Bisri Syansuri yang mulai dibuka pada tahun 1999.

Disamping itu, Yayasan Mambaul Ma’arif juga mendirikan institusi pendidikan penunjang sebagai peletak tata nilai Islam dalam mengembangkan dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan. Diantaranya : Taman Pendidikan Al Qur’an (TPQ), Madrasah Diniyah serta lembaga Bahasa Arab dan Inggris (LBAI).


Visi Pendidikan yang dikembangkan Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif adalah Mengembangkan tradisi keilmuan pesantren yang bisa menghantarkan lulusan yang Mutafaqqih fiddin, kompetitif dalam menatap masa depan, dinamis, kreatif, berakhlak mulia serta bermanfaat.
sumber:http://www.pesantrenpedia.org/blog/ponpes-mambaul-maarif-denanyar-jombang/

Pondok Pesantren Darul U'lum Jombang

Pondok Pesantren Darul U'lum Jombang
Pondok Pesantren Darul 'Ulum didirikan oleh Kyai Haji Tamim Irsyad dibantu Kyai Haji Cholil sebagai mitra kerja dan sekaligus menantunya pada tahun 1885 M. Pondok Pesantren ini didirikan bermula dari kedatangan Kyai Haji Tamim Irsyad dari Bangkalan, Madura ke Desa Rejoso. Dia adalah murid Kyai Haji Cholil Bangkalan. Ketika Dia datang ke Jombang atas perintah dan amanat gurunya KH. Kholil Bangkalan untuk mengamalkan ilmunya di masyarakat. Saat dia datang Peterongan, masih berupa hutan angker dan penduduknya banyak malakukan perbuatan jahiliyah KH. Tamim harus berjuang dengan ilmu syari'at, thariqoh dan kanuragan agar dapat diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. awal mula dia mengajar di desa Pajaran. Lalu ditemukanlah Desa Rejoso, tempat secara naluriah Keagamaan KH. Tamim yang amat representatif sebagai lahan perjuangan menegakkan Islam. Dia dibantu oleh murid KH. Kolil Bangkalan lain yang bernama KH Djuraimi yang selanjutnya berganti nama KH. Kholil. KH. Tamim Irsyad mengajarkan Al Qur’an dan Feqih sedangkan KH. Kholil mengajarkan ilmu Tauhid dan Tasawuf. KH Kholil dinikahkan dengan putri KH Tamim yaitu Nyai Fatimah. Pada periode ini siswa yang ada sekitar 200 orang, dari Jombang Mojokerto, Surabaya dan Madura, beberapa orang dari jawatengah. KH Cholil sempat Jadzab sepeninggal teman sekaligus mertuanya KH Tamim Irsyad (1930) dia harus mengasuh pondok sendirian. Demi pengembangan dan kaderisasi tiga orang kader belajar di Makkah yaitu KH. Romly Tamim, KH Dahlan Kholil dan KH Ma’sum Kholil

Periode Pertengahan (1937-1958 M)
Thareqat Qodhiriyah Wan Naqsabandiyah
Huffadz (Penghafal) Al-Qur'an
Periode Baru fase Pertama (1958-1985 M)
Bidang Struktur Organisasi
Dewan Kyai :
Dewan Guru :
Dewan Harian :
Dewan Keuangan :
Bidang Pendidikan
Dibukanya Universitas Darul 'Ulum pada tahun 1965.
Bidang Sarana Fisik
Pada 1954, dibuka Madrasah Mu'alimat Atas (sederajat SMA).
Pada 1960, Ikappdar (Ikatan Keluarga Pondok Pesantren Darul 'Ulum) dibentuk.
Pada 1965, mempunyai tanah milik di Jombang, sebagai lokasi berdirinya Universitas Darul 'Ulum.
Tahun 1959-1982, telah disempurnakan fasilitas belajar, ibadah, maupun asrama tempat tinggal para santri.
Periode Baru fase Kedua (1985-1993 M)[sunting | sunting sumber]
Perkembangan Kelembagaan
Lembaga pendidikan Pondok Pesantren Darul 'Ulum (Rejoso).
Lembaga Universitas Darul 'Ulum.
Lembaga Thareqat Qodiriyah Wan Naqsabandiyah.
Bidang Pendidikan
Pada 1988, dibuka program Komputer.
Pada 1989, dibuka SMEA Darul 'Ulum.
Pada 1991, dibuka Akademi Perawatan Darul 'Ulum.
Pada 1992, dibuka STM Darul 'Ulum.
Bidang Fisik Bangunan
Pada 1986, dibangun gedung perkuliahan Fakultas Hukum dan Teknik di Jombang, & gedung SMA Darul 'Ulum 1 & Asrama Ibnu Siena.
Pada 1987, dibangun gedung Fakultas Tarbiyah di Jl. Rejoso, Peterongan, & SMA Putri bersama dengan Asrama Raden Rahmat.
Pada 1989, dibangun gedung MAN Rejoso & MTsN Rejoso bersamaan Asrama Bani Tamim & Asrama Al-Ghozali.
Pada 1990, dibangun gedung Pertemuan Universitas Darul 'Ulum dengan kapasitas 2000 orang.
Pada 1992, dibangun gedung Akademi Perawatan Darul 'Ulum.
Bidang Kepemimpinan
Pertama : Nyai Hj. Fatimah, istri KH. Cholil.
Kedua : KH. Romly Tamim
Ketiga : KH. Umar Tamim
Sistem pendidikan
Seiring dengan perjalanan waktu, santri yang berdatangan menimba ilmu semakin banyak dan beragam. Kenyataan tersebut telah mendorong Pondok Pesantren Darul 'Ulum (Rejoso) beberapa kali telah melakukan perubahan kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan. Sebagaimana pesantren-pesantren pada zaman pendiriannya, sistem pengajaran awal yang digunakan adalah metode sorogan (santri membaca sendiri materi pelajaran kitab kuning di hadapan guru), serta metode weton atau bandongan atau halqah (kyai membaca kitab dan santri memberi makna).


Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang

Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang

Pondok Pesantren Bahrul Ulum (PPBU) didirikan oleh KH. Abdus Salam seorang keturunan raja Majapahit, pada tahun 1838 M di desa Tambakberas, 5 km arah utara kota Jombang Jawa Timur. Banyak cerita yang mengisahkan kenapa KH. Abdus Salam seorang keturunan ningrat, bisa sampai ke desa kecil yang kala itu masih berupa hutan belantara penuh dengan binatang buas dan dikenal sebagai daerah angker.
KH. Abdus Salam meninggalkan kampung halamannya menuju Tambakberas untuk bersembunyi menghindari kejaran tentara Belanda. Bersama pengikutnya ia kemudian membangun perkampungan santri dengan mendirikan sebuah langgar (mushalla) dan tempat pondokan sementara buat 25 orang pengikutnya. Karena itu, pondok pesantren itu juga dikenal pondok selawe (dua puluh lima).
Perkembangan pondok pesantren ini mulai menonjol saat kepemimpinan pesantren dipegang oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah, cicit KH. Abdus Salam. Setelah kembali dari belajar di Mekkah, ia segera melakukan revitalisasi piondok pesantren. Ia yang pertama kali mendirikan madrasah yang diberi nama Madrasah Mubdil Fan. Ia juga membentuk kelompok diskusi Taswirul Afkar dan mendirikan organisasi Nahdlatul Wathon yang kemudian dideklarasikan sebagai organisasi keagamaan dengan nama Nahdlatul Ulama (NU). Deklarasi itu ia lakukan bersama dengan KH. Hasyim Asy’ari dan ulama lainnya pada tahun 1926.
Nama Bahrul Ulum itu tidak muncul saat KH. Abdus Salam mengasuh pesantren tersebut. Nama itu justru berasal dari KH. Abdul Wahab Hasbullah. Ia memberikan nama resmi pesantren pada tahun 1967. Beberapa tahun kemudian pendiri NU ini pulang ke rahmatullah pada tanggal 29 Desember 1971.
Mulai tahun 1987 kepemimpinan pondok pesantren dipegang secara kolektif oleh Dewan Pengasuh yang diketuai oleh KH. M. Sholeh Abdul Hamid. Mereka juga mendirikan Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum yang diketuai oleh KH. Ahmad Fatih Abd. Rohim. Para kiai yang mengasuh PP Bahrul Ulum itu diantaranya, KH. M. sholeh Abdul Hamid, KH. Amanullah, KH. Hasib Abd. Wahab,
Dibawah kepemimpinan KH. M. Sholeh, PPBU mengalami perkembangan sangat pesat. Hal ini dapat dilihat dengan semakin membludaknya santri yang belajar di pondok pesantren yang telah banyak menghasilkan ulama dan politisi.KH. Abdurrahman Wahid mantan presiden ke 4 RI juga alumni pesantren yang sering kedatangan tamu dari pemerintah pusat ini. Santri yang belajar di PPBU tidak hanya datang dari daerah Jombang saja tapi juga dari seluruh wilayah Indonesia, bahkan juga dari Brunei Darussalam dan Malaysia.
Sampai tahun 2003 ini PPBU dihuni hampir 10.000 santri. Untuk menampung santri, pesantren membuat asrama dalam komplek-komplek pemukiman yang terpisah-pisah, tetapi tetap dibawah pengawasan pondok induk. Dan setiap kompek diawasi dan diasuh oleh seorang kiai. Komplek-komplek tersebut meliputi; komplek pondok induk Al-Muhajirin I, II, III dan IV, Al-Muhajiraat I, II, III dan IV, As-Sa’idiyah putra, As-Sa’idiyah putri, Al-Muhibbin I dan II, Ar-Roudloh, Al-Ghozali, Al-Hikmah , Al-wahabiyah, Al-Fathimiyah, Al-Lathifiyah I dan II dan an-Najiyah.
Seiring dengan perkembangan pesantren yang semakin pesat, pengelolaan pesantren dilakukan secara profesional. Kegiatan pesantren sehari-hari tidak langsung ditangani oelh pengasuh. Tetapi diserahkan kepada pengurus Bahrul Ulum yang terdiri dari para Gus dan Ning (putra kiai), ustadz, ustadzah dan santri senior. Untuk operasionalnya dibentuk bidang-bidang dengan distribusi tugas secara teratur.
Selain itu, santri juga bisa mengikuti berbagai organisasi penunjuang dalam lingkungan pesantren seperti, Jam’iyyah Qurro’ wa; Huffadh (JQH), Forum Kajian Islam (FKI), Corp Dakwah Santri Bahrul Ulum (CDS BU), Koppontren Bahrul Ulum, OSIS ada disetiap sekolah dan madrasah., Keluarga Pelajar Madrasah Bahrul Ulum, Organisasi Daerah (ORDA) organisasi ini merupakan wadah santri menurut asal daerah santri, Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (SM STT).
Kegiatan belajar santri PPBU dalam kesehariannya sangat variatif dan diklasifikasikan menurut jenjang pendidikannya masing-masing. Namun secara umum pengajian kitab salaf (literatur klasik) sangat menonjol. Disamping itu, santri juga diwajibkan mengikuti Madrasah Al-qur’an dan Madrasah Diniyah. Prgram takrorud durus (jam wajib belajar) waktunya ditetapkan oleh pengurus harian Bahrul Ulum.
PPBU juga menyelenggarakan kegiatan sosial seperti, sunatan massal, bakti sosial, penyuluhan masyarakat, pengiriman dai ke daerah-daerah tertinggal, panti anak yatim dan lain sebagainya.
Sebagai kaderisasi pesantren, agar kelangsungan pendidikan agama tetap berjalan dan tidak mengalami kemunduiran apalagi sampai pesantren mengalami bubar, para pengasuh mengirimkan putra-putri belajar ke pesantren lain juga menimba ilmu di perguruan tinggi, seperti putra KH. M. Sholeh ada yang dikirim belajar ke pesantren Lirboyo Kediri.
Penyelenggaraan Pendidikan
Pondok Pesantren Bahrul Ulum secara umum menyelenggarakan pendidikan formal dan non formal. Untuk pendidikan formal mengacu pada kuriklum DEPAG dan DIKNAS. Adapun yang mengikuti kurikulum DEPAG, meliputi MI (Madrasah Ibtidaiyah) Bahrul Ulum, MTsN (Madrasah Tsanawiyah Negeri) Bahrul Ulum, MTs (Madrasah Tsanawiyah) Bahrul Ulum, MAN (Madrasah Aliyah Negeri) Bahrul Ulum dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Bahrul Ulum. Sedangkan pendidikan fromal yang mengikuti kurikulum DIKNAS meliputi, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Bahrul Ulum, Sekolah Menengah Umum (SMU) Bahrul Ulum dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Tehnik Bahrul Ulum.
Walaupun kegiatan pendidikan formal sangat padat, namun pengajian dan pendidikan kitab salaf tetap sangat dipentingkan. Dan sistem tradisional seperti sorogan, bandongan , wkton, takhassus, takror, tahfidh dan tadarrus tetap dipertahankan. Adapun jenjang pendidikan salaf meliputi TK, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Ibtidaiyah Program Khusus, Madrasah Diniyah, Madrasah Al-Qur’an, Madrasah Mu’allimin / Mu’allimat Atas dan Madrasah I’dadiyah Lil Jami’ah.
Selain itu PPBU dalam ikut mengembangkan minat dan bakat para santri juga memberikan kegiatan ekstra kurikuler, seperti majalah pesantren Menara, Marching Band, komputer, menjahit, elektronika, seni hadrah, seni qasidah, tata busana, tata boga, bela diri, pramuka, palang merah remaja (PMR), unit kesehatan sekolah (UKS) dan karya ilmiyah remaja. Disamping itu, pesantren juga menyelenggarakan pelatihan dan kegiatan ekstra keagamaan seperti pelatihan jurnalistik, bahasa asing, penelitian, kepemimpinan, kepustakaan, keorganisasian, advokasi masyarakat, kewirausahaan, manasik haji, seni baca Al-Qur’an , khutbah, pidato, bahtsul masail, diba’iyyah dan lain sebagainya. (depag/mus)


 sumber:http://suara-santri.tripod.com/files/pesantren/pesantren3.htm

Pondok Pesantren Tebuireng Jombang

Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang

Pondok Pesantren Tebuireng didirikan oleh Kyai Haji Hasyim Asy’ari pada tahun 1899 M. Pesantren ini didirikan setelah ia pulang dari pengembaraannya menuntut ilmu di berbagai pondok pesantren terkemuka dan di tanah Mekkah, untuk mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya.

Tebuireng dahulunya merupakan nama dari sebuah dusun kecil yang masuk wilayah Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Letaknya delapan kilometer di selatan kota Jombang, tepat berada di tepi jalan raya Jombang – Kediri. Menurut cerita masyarakat setempat, nama Tebuireng berasal dari “kebo ireng” (kerbau hitam).[1] Versi lain menuturkan bahwa nama Tebuireng diambil dari nama punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan kemudian tinggal di sekitar dusun tersebut.

Dusun Tebuireng sempat dikenal sebagai sarang perjudian, perampokan, pencurian, pelacuran dan perilaku negatif lainnya. Namun sejak kedatangan K.H. Hasyim Asy’ari dan santri-santrinya, secara bertahap pola kehidupan masyarakat dusun tersebut berubah semakin baik dan perilaku negatif masyarakat di Tebuireng pun terkikis habis. Awal mula kegiatan dakwah K.H. Hasyim Asy’ari dipusatkan di sebuah bangunan yang terdiri dari dua buah ruangan kecil dari anyam-anyaman bambu (Jawa: gedek), bekas sebuah warung yang luasnya kurang lebih 6 x 8 meter, yang dibelinya dari seorang dalang. Satu ruang digunakan untuk kegiatan pengajian, sementara yang lain sebagai tempat tinggal bersama istrinya, Nyai Khodijah.

Organisasi NU tersebar di seluruh provinsi di Indonesia dengan lebih dari 400 cabang, tetapi pengurus-pengurus wilayah NU yang kegiatan usahanya cukup nyata antara lain adalah yang berada di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.[2] Saat ini, keberadaan Pondok Pesantren Tebuireng telah berkembang dengan baik dan semakin mendapat perhatian dari masyarakat luas.

Sumber:https://id.wikipedia.org/wiki/Pondok_Pesantren_Tebuireng

Makam Mbah Sayyid Sulaiman Jombang

Makam Mbah Sayyid Sulaiman Jombang

Makam Mbah Sayyid Sulaiman terdapat di Dusun Rejo Slamet, Desa
Mancilan, Kecamatan Mojoagung Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Makam
Mbah Sayyid Sulaiman ini selain dikenal sebagai tempat bersejarah
sekaligus dikeramatkan. Setiap malam Jum'at Legi selalu dipadati
ribuan pengunjung. Sayyid Sulaiman adalah tokoh penyebar agama Islam
yang datang dari Yaman yang menurut beberapa sumber mengatakan bahwa
keluarga beliau adalah keturunan langsung dari nabi Muhammad SAW
dengan marga Basyaiban.

Sebagian besar masyarakat Jawa masih melakukan berbagai macam jenis
kegiatan spiritual (lelaku) demi sebuah pencapaian makna hidup yang
sesungguhnya dan untuk keselamatan hidup di dunia dan di akhirat
kelak. Gambaran kehidupan yang seperti itu tidak terlepas dari sebuah
karakteristik masyarakat yang masih mempertahankan tradisi kehidupan
kejawen. Segala perilaku orang Jawa selalu terikat pada suatu aspek
kepercayaan pada hal-hal tertentu yang menjadikan perilaku hidup orang
Jawa didominasi oleh sistem berpikir mistis. Sistem berpikir
masyarakat Jawa yang mistis juga tidak terlepas dari keyakinan yang
kuat terhadap mitos yang sangat kuat. Mereka kemudian tidak
segan-segan untuk menyatakan suatu objek bersifat keramat dan diyakini
membawa berkah. Salah satu dari tempat keramat tersebut adalah sebuah
makam, kuburan atau pesarean, terutama makam para wali, tokoh
agamamaupun tokoh kharismatik yang lain.

Dalam menjalankan kehidupan di dunia, manusia selalu berusaha untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya untuk mencapai kebahagiaan, namun jika
semua kebutuhan hidup tersebut dirasakan sebagai sesuatu yang hampa
tanpa makna, maka tidak jarang orang rela melepaskan semua apa yang
dimilikinya saat itu, misalnya keluarga, harta benda maupun pekerjaan
untuk berkelana untuk mengenal hakekat diri dan Illahi.

Perjalanan spiritual dari makam ke makam pun dijalankan seseorang
untuk mengawali pengembaraan mencari sesuatu yang tidak bisa
dijelaskan dengan kata-kata. Sarkub atau Sarjana Kuburan adalah
sebuah gelar yang diberikan kepada mereka-mereka yang suka mengembara
dari makam-ke makam. Pengembaraan dari makam ke makam menghabiskan
waktu yang cukup lama tergantung dari masing-masing pribadi Sarkub.
Perjalanan tersebut ditempuh dengan berjalan kaki, menelusuri
perkampungan, rel-rel kereta api dan jalan raya.

KH. A WAHID HASYIM

KH. A WAHID HASYIM
Dari Pesantren untuk Bangsa
KH. Abdul Wahid Hasyim adalah putra kelima dari pasangan KH. Hasyim Asy’ari dengan Nyai Nafiqah binti Kyai Ilyas. Anak lelaki pertama dari 10 bersaudara ini lahir pada hari Jumat legi, Rabiul Awwal 1333 H, bertepatan dengan 1 Juni 1914 M, ketika di rumahnya sedang ramai dengan pengajian.

Wahid Hasyim adalah salah seorang dari sepuluh keturunan langsung KH. Hasyim Asy’ari. Silsilah dari jalur ayah ini bersambung hingga Joko Tingkir, tokoh yang kemudian lebih dikenal dengan Sultan Sutawijaya yang berasal dari kerajaan Demak. Sedangkan dari pihak ibu, silsilah itu betemu pada satu titik, yaitu Sultan Brawijaya V, yang menjadi salah satu raja Kerajaan MAtaram. Sultan Brawijaya V ini juga dikenal dengan sebutan Lembu Peteng.
t;
Kesepuluh putra KH. Hasyim Asy’ari itu adalah Hannah, Khairiyah, Aisyah, Izzah, Abdul Wahid, A. Khaliq, Abdul Karim, Ubaidillah, Masrurah, dan Muhammad Yusuf. Sementara itu, dengan Nyai Masrurah KH. Hasyim Asy’ari dikaruniai empat putera, yakni Abdul Kadir, Fatimah, Khodijah dan Ya’kub.

Mondok Hanya Beberapa Hari
Abdul Wahid mempunyai otak sangat cerdas. Pada usia kanak-kanak ia sudah pandai membaca al-Qur’an, dan bahkan sudah khatam al-Qur’an ketika masih berusia tujuh tahun. Selain mendapat bimbingan langsung dari ayahnya, Abdul Wahid juga belajar di bangku Madrasah Salafiyah di Pesantren Tebuireng. Pada usia 12 tahun, setamat dari Madrasah, ia sudah membantu ayahnya mengajar adik-adik dan anak-anak seusianya.

Sebagai anak tokoh, Abdul Wahid tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah Pemerintah Hindia Belanda. Ia lebih banyak belajar secara otodidak. Selain belajar di Madrasah, ia juga banyak mempelajari sendiri kitab-kitab dan buku berbahasa Arab. Abdul Wahid mendalami syair-syair berbahasa Arab dan hafal di luar kepala, selain menguasai maknanya dengan baik.

Pada usia 13 tahun ia dikirim ke Pondok Siwalan, Panji, sebuah pesantren tua di Sidoarjo. Ternyata di sana ia hanya bertahan sebulan. Dari Siwalan ia pindah ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Lagi-lagi ia di pesantren ini mondok dalam waktu yang sangat singkat, hanya beberapa hari saja. Dengan berpindah-pindah pondok dan nyantri hanya dalam hitungan hari itu, seolah-olah yang diperlukan Abdul Wahid hanyalah keberkatan dari sang guru, bukan ilmunya. Soal ilmu, demikian mungkin ia berpikir, bisa dipelajari di mana saja dan dengan cara apa saja. Tapi soal memperoleh berkah, adalah masalah lain, harus berhubungan dengan kyai. Inilah yang sepertinya menjadi pertimbangan utama dari Abdul Wahid ketika itu.

Sepulang dari Lirboyo, Abdul Wahid tidak meneruskan belajarnya di pesantren lain, tetapi memilih tinggal di rumah. Oleh ayahnya pilihan tinggal di rumah dibiarkan saja, toh Abdul Wahid bisa menentukan sendiri bagaimana harus belajar. Benar juga, selama berada di rumah semangat belajarnya tidak pernah padam, terutama belajar secara otodidak. Meskipun tidak sekolah di lembaga pendidikan umum milik pemerintah Hindia Belanda, pada usia 15 tahun ia sudah mengenal huruf latin dan menguasai bahasa Inggris dan Belanda. Kedua bahasa asing itu dipelajari dengan membaca majalah yang diperoleh dari dalam negeri atau kiriman dari luar negeri.

Menerapkan Sistem Madrasah ke Dalam Sistem Pesantren
Pada 1916, KH. Ma’sum, menantu KH. Hasyim Asy’ari, dengan dukungan Wahid Hasyim, memasukkan sistem Madrasah ke dalam sistem pendidikan pesantren. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan siffir awwal dan siffir tsani, yaitu masa persiapan untuk memasuki masa lima tahun jenjang berikutnya. Pada siffir awwal dan siffir tsani diajarkan khusus bahasa Arab sebagai landasan penting pembedah khazanah ilmu pengetahuan Islam. Pada tahun 1919, kurikulum madrasah tersebut ditambah dengan pendidikan umum, seperti bahasa Indonesia (Melayu), berhitung dan Ilmu Bumi. Pada 1926, KH. Mauhammad Ilyas memasukkan pelajaran bahasa Belanda dan sejarah ke dalam kurikulum madrasah atas persetujuan KH. Hasyim Asy’ari.

Pembaharuan pendidikan Pesantren Tebuireng yang dilakukan KH. Hasyim Asy’ari, berikut murid dan puteranya, bukan tanpa halangan. Pembaharuan pendidikan yang digagasnya menimbulkan reaksi yang cukup hebat dari masyarakat dan kalangan pesantren, sehingga banyak juga orang tua santri memindahkan anak-anaknya ke pesantren lain, karena dengan pembaharuan tersebut Pesantren Tebuireng dipandang sudah terlalu modern. Reaksi tersebut tidak menyurutkan proses pembaharuan Pesantren Tebuireng. Hal tersebut terus berlangsung dan dilanjutkan oleh Wahid Hasyim dengan mendirikan madrasah modern di lingkungan pesantren.

Berangkat ke Mekkah
Pada tahun 1932, ketika menginjak usia 18 tahun, ia dikirim ke Mekkah, di samping untuk menunaikan rukun Islam kelima juga untuk memperdalam berbagai cabang ilmu agama. Kepergiannya ke Mekkah ditemani oleh saudara sepupunya, Muhammad Ilyas, yang kelak menjadi Menteri Agama. Muhammad Ilyas memiliki jasa yang besar dalam membimbing Abdul Wahid sehingga tumbuh menjadi remaja yang cerdas. Muhammad Ilyas dikenal fasih dalam bahasa Arab, dan dialah yang mengajari Abdul Wahid bahasa Arab. Di tanah suci ia belajar selama dua tahun.

Dengan pengalaman pendidikan tersebut, tampak ia sebagai sosok yang memiliki bakat intelektual yang matang. Ia menguasai tiga bahasa asing, yaitu bahasa Arab, Inggris dan Belanda. Dengan bekal kemampuan tiga bahasa tersebut, Wahid Hasyim dapat mempelajari berbagai buku dari tiga bahasa tersebut. Otodidak yang dilakukan Wahid Hasyim memberikan pengaruh signifikan bagi praktik dan kiprahnya dalam pendidikan dan pengajaran, khususnya di pondok pesantren termasuk juga dalam politik.

Setelah kembali dari Mekkah, Wahid Hasyim merasa perlu mengamalkan ilmunya dengan melakukan pembaharuan, baik di bidang sosial, keagamaan, pendidikan dan politik. Pada usia 24 tahun (1938), Wahid Hasyim mulai terjun ke dunia politik. Bersama kawan-kawannya, ia gencar dalam memberikan pendidikan politik, pembaharuan pemikiran dan pengarahan tentang perlunya melawan penjajah. Baginya pembaharuan hanya mungkin efektif apabila bangsa Indonesia terbebas dari penjajah.

Menikah
Pada usia 25 tahun, Abdul Wahid mempersunting gadis bernama Solichah, putri KH. Bisri Syansuri, yang pada waktu itu baru berusia 15 tahun. Pasangan ini dikarunai enam anak putra, yaitu Abdurrahman ad-Dakhil (mantan Presiden RI), Aisyah (Ketua Umum PP Muslimat NU, 1995-2000), Shalahudin al-Ayyubi (Insinyur lulusan ITB/Pengasuh PP. Tebuireng Jombang, sesudah KH. Yusuf Hasyim), Umar (dokter lulusan UI), Khadijah dan Hasyim.

Empat Tahun Sebelum Masuk Organisasi
Jangan ada orang yang memasuki suatu organisasi atau perhimpunan atas dasar kesadaran kritisnya. Pada umumnya orang yang aktif dalam sebuah organisasi atas dasar tradisi mengikuti jejak kakek, ayah, atau keluarga lain, karena ikut-ikutan atau karena semangat primordial. Tidak terkecuali bagi kebanyakan warga NU. Sudah lazim orang masuk NU karena keturunan; ayahnya aktif di NU, maka secara otomatis pula anaknya masuk dan menjadi aktivis NU. Kelaziman seperti itu agaknya tidak berlaku bagi Wahid Hasyim. Proses ke-NU-an Abdul Wahid Hasyim berlangsung dalam waktu yang cukup lama, setelah melakukan perenungan mendalam. Ia menggunakan kesadaran kritis untuk menentukan pilihan organisasi mana yang akan dimasuki.

Waktu itu April 1934, sepulang dari Mekkah, banyak permintaan dari kawan-kawannya agar Abdul Wahid Hasyim aktif dihimpunan atau organisasi yang dipimpinnya. Tawaran juga datang dari Nahdlatul Ulama (NU). Pada tahun-tahun itu di tanah air banyak berkembang perkumpulan atau organisasi pergerakan. Baik yang bercorak keagamaan maupun nasionalis. Setiap perkumpulan berusaha memperkuat basis organisasinya dengan merekrut sebanyak mungkin anggota dari tokoh-tokoh berpengaruh. Wajar saja jika kedatangan Wahid Hasyim ke tanah air disambut penuh antusias para pemimpin perhimpunan dan diajak bergabung dalam perhimpunannya. Ternyata tidak satupun tawaran itu yang diterima, termasuk tawaran dari NU.

Apa yang terjadi dalam pergulatan pemikiran Abdul Wahid Hasyim, sehingga ia tidak kenal secara cepat menentukan pilihan untuk bergabung di dalam satu perkumpulan itu? Waktu itu memang ada dua alternatif di benak Abdul Wahid Hasyim. Kemungkinan pertama, ia menerima tawaran dan masuk dalam salah satu perkumpulan atau partai yang ada. Dan kemungkinan kedua, mendirikan perhimpunan atau partai sendiri.

Di mata Abdul Wahid Hasyim perhimpunan atau partai yang berkembang waktu itu tidak ada yang memuaskan. Itulah yang menyebabkan ia ragu kalau harus masuk dan aktif di partai. Ada saja kekurangan yang melekat pada setiap perhimpunan. Menurut penilaian Abdul Wahid Hasyim, partai A kurang radikal, partai B kurang berpengaruh, partai C kurang memiliki kaum terpelajar, dan partai D pimpinannya dinilai tidak jujur.

”di mata saya, ada seribu satu macam kekurangan yang ada pada setiap partai,” tegas Abdul Wahid Hasyim ketika berceramah di depan pemuda yang bergabung dalam organisasi Gerakan Pendidikan Politik Muslim Indonesia.

Setelah beberapa lama melakukan pergulatan pemikiran Wahid Hasyim akhirnya menjatuhkan pilihannya ke NU. Meskipun belum sesuai dengan keinginannya, tapi dianggap NU memiliki kelebihan dibanding yang lain. Selama ini organisasi-organisasi dalam waktu yang pendek tidak mampu untuk menyebar keseluruh daerah. Berbeda dengan NU dalam waktu yang cukup singkat sudah menyebar hingga 60% di seluruh wilayah di Indonesia. Inilah yang dianggap oleh Wahid Hasyim kelebihan yang dimiliki oleh NU.

Pokok Pemikirannya
Sebagai seorang santri pendidik agama, fokus utama pemikiran Wahid Hasyim adalah peningkatan kualitas sumberdaya umat Islam. Upaya peningkatan kualitas tersebut menurut Wahid Hasyim, dilakukan melalui pendidikan khususnya pesantren. Dari sini dapat dipahami, bahwa kualitas manusia muslim sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya kualitas jasmani, rohani dan akal. Kesehatan jasmani dibuktikan dengan tiadanya gangguan fisik ketika berkatifitas. Sedangkan kesehatan rohani dibuktikan dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Disamping sehat jasmani dan rohani, manusia muslim harus memiliki kualitas nalar (akal) yang senantiasa diasah sedemikian rupa sehingga mampu memberikan solusi yang tepat, adil dan sesuai dengan ajaran Islam.

Mendudukkan para santri dalam posisi yang sejajar, atau bahkan bila mungkin lebih tinggi, dengan kelompok lain agaknya menjadi obsesi yang tumbuh sejak usia muda. Ia tidak ingin melihat santri berkedudukan rendah dalam pergaulan masyarakat. Karena itu, sepulangnya dari menimba ilmu pengetahuan, dia berkiprah secara langsung membina pondok pesantren asuhannya ayahnya.

Pertama-tama ia mencoba menerapkan model pendidikan klasikal dengan memadukan unsur ilmu agama dan ilmu-ilmu umum di pesantrennya. Ternyata uji coba tersebut dinilai berhasil. Karena itu ia kenal sebagai perintis pendidikan klasikal dan pendidikan modern di dunia pesantren.

Untuk pendidikan pondok pesantren Wahid Hasyim memberikan sumbangsih pemikirannya untuk melakukan perubahan. Banyak perubahan di dunia pesantren yang harus dilakukan. Mulai dari tujuan hingga metode pengajarannya.

Dalam mengadakan perubahan terhadap sistem pendidikan pesantren, ia membuat perencanaan yang matang. Ia tidak ingin gerakan ini gagal di tengah jalan. Untuk itu, ia mengadakan langkah-langkah sebagai berikut:

* Menggambarkan tujuan dengan sejelas-jelasnya
* Menggambarkan cara mencapai tujuan itu
* Memberikan keyakinan dan cara, bahwa dengan sungguh-sungguh tujuan dapat dicapai.

Pada awalnya, tujuan pendidikan Islam khususnya di lingkungan pesantren lebih berkosentrasi pada urusan ukhrawiyah (akhirat), nyaris terlepas dari urusan duniawiyah (dunia). Dengan seperti itu, pesantren didominasi oleh mata ajaran yang berkaitan dengan fiqh, tasawuf, ritual-ritual sakral dan sebagainya.

Meski tidak pernah mengenyam pedidikan modern, wawasan berfikir Wahid Hasyim dikenal cukup luas. Wawasan ini kemudian diaplikasikan dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan pendidikan. Berkembangnya pendidikan madrasah di Indonesia di awal abad ke-20, merupakan wujud dari upaya yang dilakukan oleh cendikiawan muslim, termasuk Wahid Hasyim, yang melihat bahwa lembaga pendidikan Islam (pesantren) dalam beberapa hal tidak lagi sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman.

Apa yang dilakukan oleh Wahid Hasyim adalah merupakan inovasi baru bagi kalangan pesantren. Pada saat itu, pelajaran umum masih dianggap tabu bagi kalangan pesantren karena identik dengan penjajah. Kebencian pesantren terhadap penjajah membuat pesantren mengharamkan semua yang berkaitan dengannya, seperti halnya memakai pantolan, dasi dan topi, dan dalam konteks luas pengetahuan umum.

Dalam metode pengajaran, sekembalinya dari Mekkah untuk belajar, Wahid Hasyim mengusulkan perubahan metode pengajaran kepada ayahnya. Usulan itu antara lain agar sistem bandongan diganti dengan sistem tutorial yang sistematis, dengan tujuan untuk mengembangkan dalam kelas yang menggunakan metode tersebut santri datang hanya mendengar, menulis catatan, dan menghafal mata pelajaran yang telah diberikan, tidak ada kesempatan untuk mengajukan pertanyaan atau berdikusi. Secara singkat, menurut Wahid Hasyim, metode bandongan akan menciptakan kepastian dalam diri santri.

Perubahan metode pengajaran diimbangi pula dengan mendirikan perpustakaan. Hal ini merupakan kemajuan luar biasa yang terjadi pada pesantren ketika itu. Dengan hal tersebut Wahid Hasyim mengharapkan terjadinya proses belajar mengajar yang dialogis. Dimana posisi guru ditempatkan bukan lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Pendapat guru bukanlah suatu kebenaran mutlak sehingga pendapatnya bisa dipertanyakan bahkan dibantah oleh santri (murid). Proses belajar mengajar berorientasi pada murid, sehingga potensi yang dimiliki akan terwujud dan ia akan menjadi dirinya sendiri.

Kiprah Sosial Kemasyarakatan dan Kenegaraan
Selain melakukan perubahan-perubahan tersebut Wahid Hasyim juga menganjurkan kepada para santri untuk belajar dan aktif dalam berorganisasi. Pada 1936 ia mendirikan IKPI (Ikatan Pelajar Islam). Pendirian organisasi ini bertujuan untuk mengorganisasi para pemuda yang secara langsung ia sendiri menjadi pemimpinnya. Usaha ikatan ini antara lain mendirikan taman baca.

Pada tahun 1938 Wahid Hasyim banyak mencurahkan waktunya untuk kegiatan-kegiatan NU. Pada tahun ini Wahid Hasyim ditunjuk sebagai sekretaris pengurus Ranting Tebuireng, lalu menjadi anggota pengurus Cabang Jombang. Kemmudian untuk selanjutnya Wahid Hasyim dipilih sebagai anggota Pengurus Besar NU di wilayah Surabaya. Dari sini karirnya terus meningkat sampai Ma’arif NU pada tahun 1938. Setelah NU berubah menjadi partai politik, ia pun dipilih sebagai ketua Biro Politik NU tahun 1950.

Di kalangan pesantren, Nahdlatul Ulama mencoba ikut memasuki trace baru bersama-sama organisasi sosial modern lainnya, sepeti Muhammadiyah, NU juga membentuk sebuah federasi politik bernama Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) lebih banyak di dorong oleh rasa bersalah umat Islam setelah melihat konsolidasi politik kaum nasionalis begitu kuat. Pada tahun 1939, ketika MIAI mengadakan konferensi, Wahid Hasyim terpilih sebagai ketua. Setahun kemudian ia mengundurkan diri.

Wahid Hasyim juga mempelopori berdirinya Badan Propaganda Islam (BPI) yang anggota-anggotanya dikader untuk terampil dan mahir berpidato di hadapan umum. Selain itu, Wahid Hasyim juga mengembangkan pendidikan di kalangan umat Islam. Tahun 1944 ia mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang pengasuhnya ditangani oleh KH. A Kahar Mudzakir. Tahun berikutnya, 1945, Wahid Hasyim aktif dalam dunia politik dan memulai karir sebagai ketua II Majelis Syura (Dewan Partai Masyumi). Ketua umumnya adalah ayahnya sendiri. Sedangkan ketua I dan ketua II masing-masing Ki Bagus Hadikusumo dan Mr. Kasman Singodimejo.

Pada tanggal 20 Desember 1949 KH. Abdul Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama dalam kabinet Hatta. Sebelumnya, yaitu sebelum penyerahan kedaulatan, ia menjadi Menteri Negara. Pada periode kabinet Natsir dan Kabinet Sukiman, Wahid Hasyim tetap memegang jabatan Menteri Agama.

Dalam kabinet pertama yang dibentuk Presiden Soekarno pada September 1945, Wahid Hasyim ditunjuk menjadi Menteri Negara. Demikian juga dalam Kabinet Syahrir pada tahun 1946. Pada tahun ini juga, ketika KNIP dibentuk, KH. A Wahid Hasyim menjadi salah seorang anggotanya mewakili Masyumi dan meningkat menjadi anggota BPKNIP.

Selama menjadi Menteri Agama, usahanya antara lain: [1] Mendirikan Jam’iyah al-Qurra’ wa al-Huffazh (Organisasi Qari dan Penghafal al-Qur’an) di Jakarta; [2] Menetapkan tugas kewajiban Kementerian Agama melalui Peraturan Pemerintah no. 8 tahun 1950; [3] Merumuskan dasar-dasar peraturan Perjalanan Haji Indonesia; dan [4] Menyetujui berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dalam kementerian agama.

Pada tahun 1952 KH. Abdul Wahid Hasyim memprakarsai berdirinya Liga Muslimin Indonesia, suatu badan federasi yang anggotanya terdiri atas wakil-wakil NU, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan Darul Dakwah wa al-Irsyad. Susunan pengurusnya adalah KH. A Wahid Hasyim sebagai ketua, Abikusno Cokrosuyoso sebagai wakil ketua I, dan H. Sirajuddin Abbas sebagai wakil ketua II.

Sebagai Ketua Umum PBNU
Ketika Muktamar ke 19 di Palembang mencalonkannya sebagai Ketua Umum, ia menolaknya, dan mengusulkan agar KH. Masykur menempati jabatan sebagai Ketua Umum. Kemudian atas penolakan KH. A Wahid Hasyim untuk menduduki jabatan Ketua Umum, maka terpilihlah KH. Masykur menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Namun berhubung KH. Masykur diangkat menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Ali Arifin, maka NU menonaktifkan KH. Masykur selaku ketua umum, dan dengan demikian maka Wahid Hasyim ditetapkan sebagai Ketua Umum.

Disamping sebagai Ketua Umum PBNU, KH. A Wahid Hasyim menjabat Shumubucho (Kepala Jawatan Agama Pusat) yang merupakan kompensasi Jepang yang waktu itu merasa kedudukannya makin terdesak dan merasa salah langkah menghadapi umat Islam. Awalnya Shumubucho adalah merupakan kompensasi yang diberikan kepada KH. Hasyim Asy’ari, mengingat usianya yang sudah uzur dan ia harus mengasuh pesanten sehingga tidak mungkin jika harus bolak-balik Jakarta-Jombang. Karena kondisi ini, ia mengusulkan agar tugas sebagai Shumubucho diserahkan kepada KH. Abdul Wahid Hasyim, puteranya.

Tokoh Muda BPUPKI
Karir KH. Abdul Wahid Hasyim dalam pentas politik nasional terus melejit. Dalam usianya yang masih muda, beberapa jabatan ia sandang. Diantaranya ketika Jepang membentuk badan yang bertugas menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan atau dikenal dengan BPUPKI. Wahid Hasyim merupakan salah satu anggota termuda setelah BPH. Bintoro dari 62 orang yang ada. Waktu itu Wahid Hasyim berusia 33 tahun, sementara Bintoro 27 tahun.

Sebagai anggota BPKI yang berpengaruh, ia terpilih sebagai seorang dari sembilan anggota sub-komite BPKI yang bertugas merumuskan rancangan preambule UUD negara Republik Indonesia yang akan segera diproklamasikan.

Musibah di Cimindi
Tanggal 19 April 1953 merupakan hari berkabung. Waktu itu hari Sabtu tanggal 18 April, KH. Abdul Wahhid Hasyim bermaksud pergi ke Sumedang untuk menghadiri rapat NU. Berkendaraan mobil Chevrolet miliknya, dengan ditemani seorang sopir dari harian pemandangan, Argo Sutjipto, tata usaha majalah Gema Muslim, dan putra sulungnya, Abdurrahman ad-Dakhil. KH. Abdul Wahid Hasyim duduk di jok belakang bersama Argo Sutjipto.

Daerah sekitar Cimahi dan Bandung waktu itu diguyur hujan dan jalan menjadi licin. Pada waktu itu lalu lintas di jalan Cimindi, sebuah daerah antara Cimahi-Bandung, cukup ramai. Sekitar pukul 13.00, ketika memasuki Cimindi, mobil yang ditumpangi KH. Abdul Wahid Hasyim selip dan sopirnya tidak bisa menguasai kendaraan. Di belakang Chevrolet nahas itu banyak iring-iringan mobil. Sedangkan dari arah depan sebuah truk yang melaju kencang terpaksa berhenti begitu melihat ada mobil zig-zag karena selip dari arah berlawanan. Karena mobil Chevrolet itu melaju cukup kencang, bagian belakangnya membentur badan truk dengan keras. Saat terjadi benturan, KH. A Wahid Hasyim dan Argo Sutjipto terlempar ke bawah truk yang sudah berhenti itu. Keduanya luka parah. KH. Abdul Wahid Hasyim terluka bagian kening, mata serta pipi dan bagian lehernya. Sementara sang sopir dan Abdurrahman tidak cidera sedikit pun. Mobilnya hanya rusak bagian belakang dan masih bisa berjalan seperti semula.

Lokasi kejadian kecelakaan itu memang agak jauh dari kota. Karena itu usaha pertolongan datang sangat terlambat. Baru pukul 16.00 datang mobil ambulan untuk mengangkut korban ke Rumah Sakit Boromeus di Bandung. Sejak mengalami kecelakaan, kedua korban terus tidak sadarkan diri. Pada pukul 10.30 hari Ahad, 19 April 1953, KH. Abdul Wahid Hasyim dipanggil ke hadirat Allah Swt dalam usia 39 tahun. Beberapa jam kemudian, tepatnya pukul 18.00, Argo Sutjipto menyusul menghadap Sang Khalik.

Ditetapkan Sebagai Pahlawan
Berdasarkan Surat keputusan Presiden Republik Indonesia No. 206 tahun 1964 tertanggal 24 Agustus 1964, KH. Abdul Wahid Hasyim ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, mengingat jasa-jasanya sebagai pemimpin Indonesia yang semasa hidupnya terdorong oleh taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan rasa cinta tanah air dan bangsa, telah memimpin suatu kegiatan yang teratur guna mencapai kemerdekaan nusa dan bangsa.


Biografi singkat KH. Abdul Wahid Hasyim disarikan dari buku ”99 Kiai Kharismatik Indonesia” di tulis oleh KH. A. Aziz Masyhuri, terbitan Kutub, Yogyakarta.


Sumber: http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,13-id,27034-lang,id-c,tokoh-t,Dari+Pesantren+untuk+Bangsa-.phpx

KH Hasyim Asy'ari

KH Hasyim Asy'ari

 KH Mohammad Hasyim Asy'ari  Biasa disebut KH Hasyim Ashari beliau dilahirkan pada tanggal 10 April 1875 atau menurut penanggalan arab pada tanggal 24 Dzulqaidah 1287H di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur dan beliau kemudian tutup usia pada tanggal 25 Juli 1947 yang kemudian dikebumikan di Tebu Ireng, Jombang, KH Hasyim Asy'ari merupakan pendiri Nahdlatul Ulama yaitu sebuah organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia. KH Hasyim Asyari merupakan putra dari pasangan Kyai Asyari dan Halimah, Ayahnya Kyai Ashari merupakan seorang pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. KH Hasyim Ashari merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis keturunan ibunya, KH Hasyim Ashari merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). dari Ayah dan Ibunya KH Hasyim Ashari mendapat pendidikan dan nilai-nilai dasar Islam yang kokoh.

sumber:http://www.biografiku.com/2012/10/biografi-kh-hasyim-ashari-pendiri.html

KH. Abdul Wahab Hasbullah

KH. Abdul Wahab Hasbullah
Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah (lahir di Jombang, 31 Maret 1888 – meninggal 29 Desember 1971 pada umur 83 tahun) adalah seorang ulama pendiri Nahdatul Ulama. KH Abdul Wahab Hasbullah adalah seorang ulama yang berpandangan modern, da’wah beliau dimulai dengan mendirikan media massa atau surat kabar, yaitu harian umum “Soeara Nahdlatul Oelama” atau Soeara NO dan Berita Nahdlatul Ulama. 
Kyai Wahab lahir dari pasangan Kyai Chasbullah dan Nyai Lathifah. Keluarga Chasbullah, pengasuh Pondok Tambakberas masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan KH. Hasyim Asy’ari, Rois Akbar Nahdlatul Ulama yang juga Pendiri Pondok pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. 

Semenjak kanak-kanak, Abdul Wahab dikenal kawan-kawannya sebagai pemimpin dalam segala permainan. Beliau dididik ayahnya sendiri cara hidup,seorang santri. Diajaknya shalat berjamaah, dan sesekali dibangunkan malam hari untuk shalat tahajjud. Kemudian K.H. Hasbullah membimbingnya untuk menghafalkan Juz Ammah dan membaca Al Quran dengan tartil dan fasih. Lalu beliau dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab yang paling kecil dan isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari. Misalnya Kitab Safinatunnaja, Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahab, Muhadzdzab dan Al Majmu’. Abdul Wahab juga belajar Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulumul Quran, Hadits, dan Ulumul Hadits.

sumber:http://www.rmi-nu.or.id/ulama/kh-abdul-wahab-hasbullah-biografi-singkat-546

Candi RimbiC

Candi Rimbi-Mojowarno-Jombang
Candi Rimbi terletak di kaki Gunung Anjasamoro, tepatnya di tepi jalan raya di sebelah tenggara Kecamatan Mojowarno, Jombang, Jawa Timur. Areal yang ditempati Candi Rimbi relatif sempit, dikelilingi oleh lahan pertanian penduduk. Reruntuhan bangunan candi ditemukan kembali pada akhir abad 19 oleh Alfred Wallace, dalam perjalanannya ke Wonosalam untuk mengumpulkan contoh-contoh tumbuhan.

Candi Rimbi merupakan candi Syiwa, terlihat dari relief yang berisi ajaran Tantri yang terpahat di kaki candi. Diduga candi ini dibangun pada pertengahan abad ke-14, sebagai penghormatan kepada Tribhuwana Tunggadewi Jayawisnuwardhani yang memerintah Majapahit pada tahun 1329-1350. Dugaan ini didasarkan pada ditemukannya dua buah arca Dewi Parwati, yang diperkirakan merupakan pencerminan Dewi Tribhuwana. Kedua arca tersebut saat ini tersimpan di Museum Trowulan dan Museum Nasional.


Sumber: http://afrikenz.blogspot.co.id/2015/05/hidden-paradise-kabupaten-jombang.html

Air Terjun Tretes

Air Terjun Tretes-wonosalam-Jombang
Air Terjun Tretes, merupakan air terjun tertinggi di Jawa timur dan memiliki dua aliran air terjun dengan ketinggian 158 m dan terletak di ketinggian 1250 m di atas permukaan laut. Air terjun ini berlokasi di kawasan Taman Hutan Raya Raden Soeryo di Gunung Jurug Guah, Komplek Gunung Anjasmoro dan yang merupakan kawasan hutan lindung yang masih asli dan eksotis. Air terjun yang berada di dusun Tretes, desa Galengdowo, kecamatan Wonosalam ini secara geologis, merupakan air terjun hasil dari batuan gunung api kuarter tua. Untuk menuju ke lokasi air terjun ini dapat diakses melalui 2 jalur yaitu dari wilayah kabupaten Jombang, yang merupakan jalan setapak tanpa petunjuk arah, dengan panjang rute 5 Km dari tempat pemberhentian mobil. Rute kedua bisa dilalui dari wilayah Kediri, tepatnya di kecamatan Kandangan. Kondisi jalan berupa batuan, tapi sering dilewati oleh kendaraan bermotor. Jarak tempuh 1 Km dari tempat pemberhentian mobil.


Sumber: http://afrikenz.blogspot.co.id/2015/05/hidden-paradise-kabupaten-jombang.html

Air Terjun Sekar Pudak Sari

Air Terjun Sekar Pudak Sari-Wonosalam-Jombang
Terjun Sekar Pudak Sari Terletak di Dusun Wonokerso Desa Wonokerto, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang. Untuk menuju air terjun ini Patokannya SMP Negeri 2 Wonosalam, Karena letaknya berada di belakang SMP ini dengan jarak sekitar 1 kilometer melalui jalan tanah atau jalan setapak yang biasanya dipakai para pencari rumput dan dedaunan untuk ternak. Pencari rumput ini biasa mengendarai sepeda motor yang sudah dimodifikasi mirip motor trail Air. Motor ini mampu dikendarai naik turun menyusuri bukit bisa sampai di dekat air terjun.
sumber: http://afrikenz.blogspot.co.id/2015/05/hidden-paradise-kabupaten-jombang.html

Gus Dur Kyai Yang Berasal dai Jombang

Gus Dur dari Jombang
Gus Dur


Nama Lengkap : Abdurrahman Wahid
Profesi              : -
Agama              : Islam
Tempat Lahir    : Jombang
Tanggal Lahir   : Minggu, 4 Agustus 1940
Zodiac              : Leo
Warga Negara : Indonesia




BIOGRAFI
Kyai Haji Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 7 September 1940. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Adakhil yang berarti sang penakluk. Karena kata “Adakhil” tidak cukup dikenal, maka diganti dengan nama “Wahid” yang kemudian lebih dikenal dengan Gus Dur. Gus adalah panggilan kehormatan khas Pesantren kepada seorang anak kiai yang berarti “abang atau mas”.

Gus Dur adalah anak pertama dari enam bersaudara. Ia lahir dari keluarga yang cukup terhormat. Kakek dari ayahnya, K.H. Hasyim Asyari, merupakan pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Sementara itu kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayahnya K.H. Wahid Hasyim merupakan sosok yang terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949, sedangkan ibunya Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denayar Jombang.

Gus Dur pernah menyatakan secara terbuka bahwa ia adalah keturunan TiongHoa dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan a Lok, yang merupakan saudara kandung dari Raden Patah (Tan Eng Hwa) yang merupakan pendiri kesultanan Demak. Tan a Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Puteri Campa yang merupakan Puteri Tiongkok yaitu selir Raden Brawijaya V. Berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis Louis Charles Damais, Tan Kim Han diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al Shini yang makamnya ditemukan di Trowulan.

Pada tahun 1944 Abdurrahman Wahid pindah dari kota asalnya Jombang menuju Jakarta, karena pada saat itu ayahnya terpilih menjadi ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang biasa disingkat “Masyumi”. Masyumi adalah sebuah organisasi dukungan dari tentara Jepang yang pada saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang mempertahankan kedaulatan Indonesia melawan Belanda. Ia kembali ke Jakarta pada akhir perang tahun 1949 karena ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama.

Gus Dur menempuh ilmu di Jakarta dengan masuk ke SD Kris sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Pada tahun 1952 ayahnya sudah tidak menjadi Menteri Agama tetapi beliau tetap tinggal di Jakarta. Pada tahun 1953 di bulan April ayah Gus Dur meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.

Pada tahun 1954 pendidikannya berlanjut dengan masuk ke sekolah menengah pertama, yang pada saat itu ia tidak naik kelas. Lalu ibunya mengirimnya ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan.

Setelah lulus dari SMP pada tahun 1957, Gus Dur memulai pendidikan muslim di sebuah Pesantren yang bernama Pesantren Tegalrejo di Kota Magelang. Pada tahun 1959 ia pindah ke Pesantren Tambakberas di Kota Jombang. Sementara melanjutkan pendidikanya, ia juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai seorang guru yang nantinya sebagai kepala sekolah madrasah.  Bahkan ia juga bekerja sebagai jurnalis Majalah Horizon serta Majalah Budaya Jaya.

Pada tahun 1963, ia menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk melanjutkan pendidikan di  Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November tahun 1963. Universitas memberitahu Gus Dur untuk mengambil kelas remedial sebelum belajar bahasa Arab dan belajar islam. Meskipun mahir berbahasa Arab, ia tidak mampu memberikan bukti bahwa sesungguhnya ia mahir berbahasa Arab. Ia pun terpaksa harus mengambil kelas remedial.

Pada tahun 1964 Gus Dur sangat menikmati kehidupannya di Mesir.  Ia menikmati hidup dengan menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menikmati menonton sepakbola. Gus Dur juga terlibat dengan Asosiasi  Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah dari asosiasi tersebut. Akhirnya ia berhasil lulus dari kelas remedialnya pada akhir tahun. Pada tahun 1965 ia memulai belajar ilmu Islam dan juga bahasa Arab. Namun Gus Dur kecewa dan menolak metode belajar dari universitas karena ia telah mempelajari ilmu yang diberikan.

Di Mesir, Gus Dur bekerja di Kedutaan Besar Indonesia. Namun pada saat ia bekerja peristiwa Gerakan 30 September (G 30 S) terjadi. Upaya pemberantasan komunis dilakukan di Jakarta dan yang menangani saat itu adalah Mayor Jendral Suharto. Sebagai bagian dari upaya tersebut.  Gus Dur diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Ia menerima perintah yang ditugaskan menulis laporan.

Akhirnya ia mengalami kegagalan di Mesir. Hal ini terjadi karena Gus Dur tidak setuju akan metode pendidikan di universitas dan pekerjaannya setelah G 30 S sangat mengganggu dirinya. Pada tahun 1966 ia harus mengulang pendidikannya. Namun pendidikan pasca sarjana Gus Dur diselamatkan oleh beasiswa di Universitas Baghdad. Akhirnya ia pindah menuju Irak dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun pada awalnya ia lalai, namun ia dengan cepat belajar. Gus Dur juga meneruskan keterlibatannya dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan sebagai penulis majalah Asosiasi tersebut.

Pada tahun 1970 ia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad. Setelah itu, Gus Dur ke Belanda untuk meneruskan pendidikan. Ia ingin belajar di Universitas Leiden, namun ia kecewa karena pendidikan di Universitas Baghdad tidak diakui oleh universitas tersebut. Akhirnya ia pergi ke Jerman dan Perancis sebelum kembali lagi ke Indonesia pada tahun 1971.

Di Jakarta, Gus Dur berharap akan kembali ke luar negeri untuk belajar di Universitas McGill di Kanada. Ia pun bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Organisasi ini terdiri dari kaum intelektual  muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang bernama Prima dan Gus Dur menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut. Beliau berkeliling pesantren di seluruh Jawa.
 

Pada saat itu pesantren berusaha keras untuk mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan mengadopsi kurikulum pemerintah. Karena nilai-nilai pesantren semakin luntur akibat perubahan ini, Gus Dur pun prihatin dengan kondisi tersebut. Ia juga prihatin akan kemiskinan yang melanda pesantren yang ia lihat. Melihat kondisi tersebut Gus Dur membatalkan belajar ke luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.
 

Akhirnya ia meneruskan kariernya sebagai seorang jurnalis pada Majalah Tempo dan Koran Kompas. Tulisannya dapat diterima dengan baik. Ia mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan itu ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan seminar sehingga membuatnya sering pulang dan pergi antara Jakarta dan Jombang.

Meskipun kariernya bisa meraih kesuksesan namun ia masih merasa sulit hidup karena hanya memiliki satu sumber pencaharian. Ia pun bekerja kembali dengan profesi berbeda untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual  kacang dan mengantarkan es. Pada tahun 1974 ia menjabat sebagai Sekretaris Umum Pesantren Tebu Ireng hingga tahun 1980. Pada tahun 1980 ia menjabat sebagai seorang Katib Awwal PBNU hingga pada tahun 1984. Pada tahun 1984 ia naik pangkat sebagai Ketua Dewan Tanfidz PBNU. Tahun 1987 Gus Dur menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia. Pada tahun 1989 kariernya pun meningkat dengan menjadi seorang anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI. Dan hingga akhirnya pada tahun 1999 sampai 2001 ia menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.

Sebagai seorang Presiden RI, Gus Dur memiliki pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam menyikapi suatu permasalahan bangsa. Ia melakukan pendekatan yang lebih simpatik kepada kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM), mengayomi etnis Tionghoa , meminta maaf kepada keluarga PKI yang mati dan disiksa, dan lain-lain. Selain itu, Gus Dur juga dikenal sering melontarkan pernyataan-pernyataan kontroversial, yang salah satunya adalah mengatakan bahwa anggota MPR RI seperti anak TK.

Hanya sekitar 20 bulan Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI. Musuh-musuh politiknya memanfaatkan benar kasus Bulloggate dan Bruneigate untuk menggoyang kepemimpinannya. Belum lagi hubungan yang tidak harmonis dengan TNI, Partai Golkar, dan elite politik lainnya. Gus Dur sendiri sempat mengeluarkan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli 2001, MPR secara resmi memberhentikan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.

Sebelumnya, pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa.
 

Setelah berhenti menjabat sebagai presiden, Gus Dur tidak berhenti untuk melanjutkan karier dan perjuangannya. Pada tahun 2002 ia menjabat sebagai penasihat Solidaritas Korban Pelanggaran HAM. Dan pada tahun 2003, Gus Dur menjabat sebagai Penasihat pada Gerakan Moral Rekonsiliasi Nasional.

Tahun 2004, Gus Dur kembali berupaya untuk menjadi Presiden RI. Namun keinginan ini kandas karena ia tidak lolos pemeriksaan kesehatan oleh Komisi Pemilihan Umum.

Pada Agustus 2005 Gus Dur menjadi salah satu pimpinan koalisi politik yang bernama Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu. Bersama dengan Tri Sutrisno, Wiranto, Akbar Tanjung dan Megawati, koalisi ini mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Pada tahun 2009 Gus Dur menderita beberapa penyakit. Bahkan sejak ia menjabat sebagai presiden, ia menderita gangguan penglihatan sehingga surat dan buku seringkali dibacakan atau jika saat menulis seringkali juga dituliskan. Ia mendapatkan serangan stroke, diabetes, dan gangguan ginjal. Akhirnya Gus Dur pun pergi menghadap sang khalik (meninggal dunia) pada hari Rabu 30 Desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada pukul 18.45 WIB.

Riset dan Analisa oleh Siwi P. Rahayu
PENDIDIKAN
·         1957-1959 Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah
·         1959-1963 Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur
·         1964-1966 Al Azhar University, Cairo, Mesir, Fakultas Syari'ah (Kulliyah al-Syari'ah)
·         1966-1970 Universitas Baghdad, Irak, Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab
KARIR
·         1972-1974 Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Ashari, Jombang, sebagai Dekan dan Dosen
·         1974-1980 Sekretaris Umum Pesantren Tebu Ireng
·         1980-1984 Katib Awwal PBNU
·         1984-2000 Ketua Dewan Tanfidz PBNU
·         1987-1992 Ketua Majelis Ulama Indonesia
·         1989-1993 Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI
·         1998 Partai Kebangkitan Bangsa, Indonesia, Ketua Dewan Syura DPP PKB
·         1999-2001 Presiden Republik Indonesia
·         2000 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Mustasyar
·         2002 Rektor Universitas Darul Ulum, Jombang, Jawa Timur, Indonesia
·         2004 Pendiri The WAHID Institute, Indonesia
PENGHARGAAN
·         2010 Lifetime Achievement Award dalam Liputan 6 Awards 2010
·         2010 Bapak Ombudsman Indonesia oleh Ombudsman RI
·         2010 Tokoh Pendidikan oleh Ikatan Pelajar Nadhlatul Ulama (IPNU)
·         2010 Mahendradatta Award 2010 oleh Universitas Mahendradatta, Denpasar, Bali
·         2010 Ketua Dewan Syuro Akbar PKB oleh PKB Yenny Wahid
·         2010 Bintang Mahaguru oleh DPP PKB Muhaimin Iskandar
·         2008 Penghargaan sebagai tokoh pluralisme oleh Simon Wiesenthal Center
·         2006 Tasrif Award oleh Aliansi Jurnanlis Independen (AJI)
·         2004 Didaulat sebagai “Bapak Tionghoa” oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang
·         2004 Anugrah Mpu Peradah, DPP Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia, Jakarta, Indonesia
·         2004 The Culture of Peace Distinguished Award 2003, International Culture of Peace Project Religions for Peace, Trento, Italia
·         2003 Global Tolerance Award, Friends of the United Nations, New York, Amerika Serikat
·         2003 World Peace Prize Award, World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul, Korea Selatan
·         2003 Dare to Fail Award , Billi PS Lim, penulis buku paling laris "Dare to Fail", Kuala Lumpur, Malaysia
·         2002Pin Emas NU, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta, Indonesia.
·         2002 Gelar Kanjeng Pangeran Aryo (KPA), Sampeyan dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XII, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia
·         2001 Public Service Award, Universitas Columbia , New York , Amerika Serikat
·         2000 Ambassador of Peace, International and Interreligious Federation for World peace (IIFWP), New York, Amerika Serikat
·         2000 Paul Harris Fellow, The Rotary Foundation of Rotary International
·         1998 Man of The Year, Majalah REM, Indonesia
·         1993 Magsaysay Award, Manila , Filipina
·         1991 Islamic Missionary Award , Pemerintah Mesir
·         1990 Tokoh 1990, Majalah Editor, Indonesia
·         Doktor Kehormatan:
·         Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand (2000)
·         Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000
·         Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Universitas Sorbonne, Paris, Perancis (2000)
·         Doktor Kehormatan dari Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand (2000)
·         Doktor Kehormatan dari Universitas Twente, Belanda (2000)
·         Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, India (2000)
·         Doktor Kehormatan dari Universitas Soka Gakkai, Tokyo, Jepang (2002)
·         Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Universitas Netanya, Israel (2003)
·         Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Universitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan (2003)
Doktor Kehormatan dari Universitas Sun Moon, Seoul, Korea Selatan 

sumber:http://profil.merdeka.com/indonesia/a/abdurrahman-wahid/